IQ vs EQ: Mengapa orang cerdas gagal ?


Selama ini banyak orang menganggap bahwa jika seseorang memiliki tingkat kecerdasan intelektual (IQ) yang tinggi, maka orang tersebut memiliki peluang untuk meraih kesuksesan yang lebih besar di banding orang lain. 
Goleman menjelaskan bahwa IQ yang tinggi pun tidak menjamin kesejahteraan, gengsi, atau kebahagiaan hidup. Dalam bukunya yang terkenal, Emotional Intelligence, membuktikan bahwa tingkat emosional manusia lebih mampu memperlihatkan kesuksesan seseorang. Lebih lanjut, Goleman mengatakan bahwa untuk mencapai kesuksesan dalam dunia kerja bukan hanya cognitive intelligence saja yang dibutuhkan tetapi juga emotional intelligence. Contohnya, orang yang cerdas bukan main tapi gampang putus asa dan tidak mampu berempati pada orang lain cenderung dijauhi lingkungan sosialnya. Sementara orang ber IQ biasa-biasa saja tetapi sanggup bergaul sehat, tidak kuper, dan tidak pula kebablasan, umumnya lebih berhasil dalam hidupnya.
Menurut teori fungsi otak, kecerdasan emosi tinggi berarti seseorang percaya diri, sadar diri, dan mampu menavigasi emosional. Namun perlu diketahui bahwasanya EQ bukan merupakan lawan dari IQ, melainkan ketrampilan-ketrampilan yang sedikit terpisah. Kita semua mencampurkan ketajaman akal dengan ketajaman emosi; orang ber IQ tinggi tetapi kecerdasan emosional rendah (atau IQ rendah dengan kecerdasan emosional tinggi) relative langka kendati adanya stereotip-stereotip itu.
Peter Salovey, seorang psikolog Yale dan pencetus istilah EQ menyatakan bahwa IQ menyebabkan seseorang mendapat suatu pekerjaan, sedangkan EQ menyebabkan seseorang mendapatkan promosi dalam pekerjaan. Keseimbangan yang baik antara IQ dengan EQ harus dapat dicapai. Orang yang memiliki EQ yang baik tanpa ditunjang dengan IQ yang baik pula belum tentu dapat berhasil dalam pekerjaannya. Hal ini karena IQ masih memegang peranan yang penting dalam kinerja seseorang, sehingga keberadaan IQ tidak boleh dihilangkan begitu saja
Intellectual Quotient atau IQ menggambarkan kapasitas seseorang untuk melakukan kegiatan mental seperti berpikir, mencari penjelasan, dan memecahkan masalah secara logis.
Dengan mengetahui dalam hal apa seorang karyawan memiliki kecerdasan intelektual yang tinggi,maka perusahaan dapat menempatkan karyawan tersebut pada posisi atau pekerjaan yang sesuai. Sedangkan Emotional Quotient atau EQ yang diperkenalkan oleh Daniel Goleman di sekitar pertengahan tahun 1990-an menjelaskan kemampuan seseorang untuk mendeteksi dan mengelola emosi.

0 komentar:

Posting Komentar